Headlines News :

Latest Post

7 (TUJUH) MACAM HAK ISTRI KETIKA DI TALAQ SUAMI

Written By Bakri The Lawyer on Selasa, 06 Februari 2018 | 20.39.00

Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah  pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang pun dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak  kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang dibelantara kehidupan, orang dapat menemukan pasang hidup yang akan berbagi dalam kesenangan dan penderitaan, Perkawinan merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang-Undang perkawinan tahun 1974 disebutkan, bahwa tujuan perkawinan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Putusnya sebuah hubungan perkawinan tidak semudah memutuskan hubungan saat pacaran atau tunangan, ada 2 (dua) macam putusnya sebuah hubungan perkawinan yang pertama Putus karena perceraian dan yang kedua dijatuhkannya talaq oleh suami, Putus karena perceraian ialah putusnya hubungan perkawinan yang diinginkan oleh istri terhadap suami sedangan putusnya perkawinan karena dijatuhkannya talaq oleh suami ialah putusnya perkawinan yang diinginkan oleh suami terhadap istri, Sebelum berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, ada diskriminasi, antara suami dan istri dalam hak untuk mengajukan perceraian. Suami memiliki hak mutlak untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Kapan saja suami dapat menjatuhkan talak tanpa kewajiban apapun kepada istri.
Sementara istri apabila akan mengajukan perceraian, harus mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dan dengan mengajukan gugatan tersebut, istri akan kehilangan hak-haknya karena, mengajukan gugatan dianggap perbuatan nusyuz sehingga istri harus rela kehilangan hak, hanya karena istri mengajukan gugatan ke Pengadilan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang – Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah merubah keadaan tersebut, dan memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian. Baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang Pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan harus ada alasan yang ditentukan di dalam Undang-undang yaitu :
  • Proses Penjatuhan Talaq Suami dapat menceraikan istri dengan mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan sesuai dengan Domsili Pemohon (Suami)
  • Sedangkan Proses Perkawinan Putus karena Perceraian istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan di tempat kediaman Penggugat (isteri)

Sebelum menjatuhkan Talaq kepada Istri, suami memiliki 7 macam kewajiban yang harus dipenuhi yaitu :
1.      Melunasi Mahar
Melunasi Mahar merupakan syarat utama sebelum menjatuhkan talaq kepada istri apabila suami pada saat sebelum akad membayar mahar setengah atau membayar mahar secara tidak tunai maka ketika hendak menjatuhkan talaq kepada istri, suami wajib melunasi Mahar yang belum dibayar akan tetapi jika sebelum akad membayar mahar secara tunai maka hal tersebut tidak perlu dibahas.
2.      Nafkah Mut’ah
Nafkah Mut’ah adalah Nafkah pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya karena ia menceraikannya.
3.      Nafkah Madliyah (Terhutang)
Nafkah Madliyah (Terhutang) ialah nafkah selama suami meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami (misalnya selama pisah rumah atau tidak tinggal bersama), Nafkah terhutang yang harus dipertanggungjawabkan dan biayar terhadap istri kecuali istri membebaskan nafkah terhutang tersebut.
4.      Nafkah Iddah
Nafkah Iddah adalah nafkah yang wajib diberikan kepada istri yang ditalaq dan nafkah ini berlangsung selama 3 bulan.
5.      Nafkah Maskan (tempat tinggal) dan Nafkah Kiswah (Perawatan)
Nafkah Maskan dan Kiswah adalah Nafkah yang wajib diberikan selama masa iddah berlangsung, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
6.      Nafkah hadhanah (pemeliharaan)
Nafkah hadhanah (pemeliharaan) adalah nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri yang kemudian diperuntukan kebutuhan anak sampai anak berusia 21 tahun atau setidak – tidaknya sampai menikah, Kecuali tidak memiliki anak.
7.      Pembagian Harta Gono Gini (Harta Bersama)
Pembagian Harta Gono Gini (Harta Bersama) adalah pembagian harta yang didapat selama perkawinan berlangsung antara suami istri meskipun dalam menjalani sebuah hubungan perkawinan yang mencari nafkah adalah suami atau istri maka harta yang didapatkan tetap dibagi atau semuanya dapat diserahkan kepada anak – anak mereka, penyerahannya dapat dilakukan pada saat anak dewasa.
7 (tujuh) macam yang tersebut diatas dapat dilakukan ketika istri mengajukan Rekonpensi terhadap suami, ketika tidak mengajukan rekonpensi maka hal tersebut dianggap tidak pernah diminta akan tetapi poin no 7 dapat dilaksanakan ketika proses peradilan perceraian selesai dengan cara istri mengajukan gugatan pembagian harta gono gini ke Pengadilan Agama.
Penulis dalam artikel ini membahas masalah kewajiban Suami sebelum menjatuhkan talaq kepada istri, artikel tersebut ditulis berdasarkan praktek sehari – hari dalam menjalani profesinya sebagai Advokat dan artikel tersebut diatas adalah tulisan peraturan perundangan – undangan yang berlaku karena penulis menyesuaikan dengan dasar hukum yang ada seperti :
  1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang – Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
  3. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
  4. Kompilasi Hukum Islam
  5. Yurisprudensi nomor 276 k/Ag/2010

Perceraian memang halal dilakukan akan tetapi sangat dibenci Allah SWT karena Perceraian tanpa sebab adalah mengkhufuri nikmat pernikahan sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam Firmannya “Dan di antara kekuasaan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu istri – istri dari jenismu, agar kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih sayang” (QS. Ar-Rum:21)
Rasulullah SAW bersabda “Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Daud: 2226)
Pertanyaan terkait Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah) atau Permasalahan Hukum lainnya dapat dikirim melalui Email : Bakrilaw90@gmail.com atau Cp : +6282 301 49 49 95

MERINTANGI ATAU MENGGANGGU KEGIATAN PERTAMBANGAN DAPAT DIPIDANA DAN DENDA 100 JUTA RUPIAH

Written By Bakri The Lawyer on Senin, 05 Februari 2018 | 20.34.00

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Penambangan adalah proses pengambilan material yang dapat diekstraksi dari dalam bumi. Tambang adalah tempat terjadinya kegiatan penambangan, Pengertian Pertambangan Sesuai Undang – undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Pertambangan Pasal 1 ayat (1) “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang”.
Seseorang yang hendak memiliki usaha pertambangan terlebih dahulu harus mengurus Izin Usaha Pertambang (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagaimana telah diatur dalam Undang – undang Republik Indonesia Nomor 04 tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara Jo Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia nomor 34 tahun 2017 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara, Ketika Izin Pertambangan telah dikantonginya maka tidak akan ada seorangpun yang dapat menggangu atau merintangi kegiatan Pertambangan hal tersebut dipertegas dalam Pasal 162 Undang – undang Republik Indonesia Nomor 04 tahun 2009 tentang Izin Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegjatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPIC yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan palirig lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Tidak hanya orang yang mengganggu atau merintangi kegiatan pertambangan yang dapat dipidana namun di Undang – undang Republik Indonesia tahun 2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara juga mengatur tentang orang yang tidak memiliki IUP atau IUPK namun orang tersebut melakukan eksplorasi maka tindakan tersebut dapat di Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
Dalam menyelesaikan permasalahan secara Hukum khususnya Pidana tentunya hal tersebut adalah kewanangan Kepolisian Republik Indonesia dengan demikian ketika hendak melakukan laporan terlebih dahulu harus memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana telah di atur dalam Pasal 184 KUHAP akan tetapi KUHAP tidak mengatur mengenai definisi bukti permulaan yang cukup dalam tahapan Penyelidikan dan Penyidikan, namun hal ini diatur dalam Keputusan bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Polri Nomor : 08/KMA/1984, Nomor : M.02-KP.10.06 tahun 1984, nomor : KEP-076/J.A/3/1984, Nomor : Pol. KEP/04/III/1984 dan PERKAPRI nomor : Pol. Skep/1205/IX/2000.



Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan didunia hukum, Apabila ada pertanyaan mengenai permasalahan tersebut atau hendak mengkonsultasikan permasalahan hukum yang terjadi disekitar para Pembaca, Pembaca dapat mengirimkan Email ke bakrilaw90@gmail.com atau CP +6282 301 49 49 95

Penulis,
Syaiful Bakri, S.H., M.H

MAS HERI NAHKODA BARU YLKBH IKADIN SITUBONDO

Written By Bakri The Lawyer on Sabtu, 03 Februari 2018 | 23.44.00

Masyarakat miskin biasanya identik dengan tingkat pendidikan rendah yang berimplimentasi pada minimnya pengetahuan mereka terhadap masalah hukum ketika harus membawa perkaranya ke pengadilan, masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke Pengadilan sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang kadang terkesan kaku dan procedural, baik dalam tahapan litigasi maupun nonlitigasi semuanya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum. Undang – undang Dasar tahun 1945 Pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yng sama dihadapan hukum, jaminan Negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai undang – undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Pasal 22 ayat (1) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, hal tersebut selaras dengan didirikannya Yayasan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum IKADIN Situbondo pada tanggal 08 September 2015 dengan SK Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor AHU-0012688.AH.01.04.TAHUN 2015, Yayasan yang didirikan oleh H. A. Zainuri Ghazali, S.H., SIP., M.H., M.M dkk ini pada tanggal 06 Januari 2018 melaksanakan musyawarah Pembina Yayasan dalam agenda musywarah pergantian Ketua Yayasan, dalam musyawarah tersebut menghasilkan 1 nama dari 6 nama yang usulkan anggota untuk menjadi Ketua Yayasan, nama tersebut yang terpilih secara aklamasi adalah HERIYANTO, S.H., M.H, pria lulusan Universitas Islam Indonesia ini diberikan kepercayaan oleh Pembina untuk menahkodai Yayasan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum IKADIN Situbondo dengan harapan YLKBH IKADIN SITUBONDO lebih bermanfaat terhadap masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara Cuma – Cuma, Mas Heri sapaan akrabnya yang juga Alumni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ini langsung melakukan Pembaruan Kepengurusan dengan nama – nama sebagai berikut : Dewan Pembina : H. A. Zainuri Ghazali, S.H., SIP., M.H., M.M Reno Widigdyo, S.H Eko Kintoko K., S.H., M.H. Dewan Pengawas : H. Bambang Suryadi, S.H Abd. Rahman Saleh, S.H., M.H Ketua : Heriyanto, S.H., M.H Sekretaris : Hari Soebagio, S.H Bendahara : Yuniati Iswari, S.H DIVISI - DIVISI Pendidikan : 1. Dwi Dasa Suryantoro, S.H,M.H 2. Syaiful Bakri, S.H., M.H 3. Eva Dian Prihatini, S.H Hubungan antar Lembaga : 1. Siti Utami, S.H 2. H. Abdurahman, S.H., M.H 3. H. Dadang Wigiarto, S.H 4. Sri Kadarwati, S.H 5. Kendang Kuncahyawati, S.H 6. Welly Kurniawan, S.H Humas : 1. Ilham Demantika Y., S.H 2. Supriyono, SH., M.Hum 3. Usman, S.H., M.H 4. Zainul Arifin, S.H. Litigasi : 1. Yudistira Nugroho, S.H., M.H 2. Fathol Bari, S.H 3. Musram Doso, S.H., M.H 4. Eko Irawan, S.H 5. Khoirul Anwar, S.H 6. Erryck Gunawan, S.H 7. Budi Irawanto, S.H Non Litigasi : 1. Ide Prima H, S.H., M.H 2. Ali Hassi, S.H 3. H. Danial Maulana , S.H., M.HI 4. Dondin M Adam, S.H 5. Abu Hasin, S.H 6. Teguh Wicaksono, S.H., M.Kn 7. Septa Fauziah H., S.H 8. Badrus, S.H Selamat kepada Saudara Heriyanto, S.H., M.H, semoga barokah dan amanah dalam pengabdian demi terciptnya masyarakat adil Makmur yang di Ridhoi ALLAH SWT. Fiat Justitia Ruat Coeleum Hukum Harus di Tegakkan Walau Langit Runtuh

SIMAK YUK! KAIDAH HUKUM 12 PUTUSAN BERSTATUS LANDMARK DECISIONS

Written By Bakri The Lawyer on Rabu, 09 Maret 2016 | 00.12.00

Putusan adalah mahkotanya hakim. Putusan-putusan brilian seringkali lahir dari ruang sidang, bahkan tanpa diketahui warga masyarakat. Putusan yang lahir dari penemuan hukum dan mempertimbangkan banyak aspek secara mendalam dapat menghadirkan sesuatu yang baru demi keadilan, kepastian, atau kemaslahan hukum.

Tahun 2015 lalu, Mahkamah Agung Indonesia juga telah memutus ribuan perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK). Dari ribuan perkara itu, telah disarikan 12 putusan yang dianggap penting. Putusan-putusan itulah yang dianggap penting. Apa saja kaidah hukum yang diangkat dari 12 putusan itu?

1. Perbuatan melawan hukum (Putusan No. 121 PK/Pdt/2011)
Kejaksaan menggugat terpidana korupsi yang tidak membayar uang pengganti. Dalam proses persidangan, salah satu poin yang perlu dijawab adalah apakah tidak membayaruang pengganti bisa dianggap perbuatan melawan hukum. Jawabannya ada dalam kaidah norma yang dibuat oleh hakim dalam pertimbangan. Menurut majelis (Harifin A. Tumpa, Dirwoto, Andi Syamsu Alam), dalam perkara tindak pidana korupsi, pembayaran uang pengganti merupakan kewajiban hukum terpidana. Jikwa kewajiban itu tidak dipenuhi, dipandang sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum terpidana. Karena itu, Kejaksaan selaku Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan secara perdata.

2. Tanggung jawab badan hukum (Putusan No. 632 PK/Pdt/2014)
Seorang penumpang yang kehilangan bagasi menggugat maskapai penerbangan. Dalam proses gugatan itu ternyata nama perusahaan yang disebutkan tidak sama dengan yang tertera dalam akta. Tetapi sehari-hari masyarakat mengenal nama perusahaan itu seperti yang disebut dalam gugatan. Meskipun beda nama perseroan dalam akta dan nama yang dikenal masyarakat, tidak melepaskan tanggung jawab perseroan dari kewajiban membayar ganti rugi. kaidah hukum yang diangkat majelis hakim dalam perkara ini adalah ‘perbedaan menyebutkan nama Lion Air sebagaimana secara umum dikenal masyarakat dengan nama PT Lion Mentari sebagaimana disebut dalam Akta Pendirian Perusahaan tidak mengakibatkan tergugat terlepas dari tanggung jawab secara hukum’. Begitu pertimbangan majelis hakim agung M. Saleh, Syamsul Ma’arif, dan Zahrul Rabain.

3. Perdata lingkungan hidup (Putusan No. 109/Pdt/2014)
Putusan majelis ini (M. Saleh, Abdul Manan, Zahrul Rabain) mengenai gugatan Kementerian Lingkungan terhadap dua perusahaan yang diduga merusak hutan suaka alam. Pengadilan menyatakan tergugat bertanggung jawab secara mutlak. kaidah hukum yang diangkat dari pertimbangan hakim adalah ‘pelaku perbuatan melanggar hukum perusakan lingkungan hidup bertanggung jawab secara mutlak’.

Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melanggar hukum perusakan lingkungan hidup. Karena itu, para tergugat dihukum untuk membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada penggugat. Tergugat I telah melakukan perusakan hutan, kerusakan akibat pembuatan jalan dan pembuatan dermaga seluas 208 hektare. Tergugat II telah melakukan pengrusakan hutan akibat pembuatan jalan seluas 98,6 hektare. Tergugat I dan Tergugat II telah menimbulkan kerusakan hutan dan akibat pembuatan jalan di luar lokasi izin pertambangan Tergugat I dan Tergugat II seluas 64,2 hektare.

4. Tagihan pajak dalam kepailitan (Putusan No. 72 PK/Pdt-Sus.Pailit/2015)
Majelis hakim agung (Abdurrahman, Soltoni Mohdally, Nurul Elmiyah) menggunakan konsep proporsionalitas dalam pembagian boedel pailit. kaidah yang bisa diangkat dari pertimbangan mereka adalah “Meskipun hutang pajak merupakan kreditor preferen, namun dalam pembagian harta pailit dilakukan berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan (proporsional). Pemohon PK telah memperoleh hasil yang jauh lebih besar, yaitu 62,5%, dari hasil pemberesan harta pailit. Sisanya dibagikan kepada kreditur lain secara berkeadilan”.

5. Perdata khusus arbitrase (Putusan No. 78 PK/Pdt.Sus-Arb/2014)
Permohonan banding terhadap putusan peradilan tingkat pertama yang mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase wajib diikuti alasan/memori paling lama 14 hari setelah permohonan banding diajukan sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009.

Itulah kaidah hukum yang bisa diangkat dari putusan majelis hakim agung Djafni Djamal, Hamdi, dan I Gusti Agung Sumanatha, dalam perkara perusahaan melawan walikota Saamarinda.

6. Pidana lingkungan hidup (Putusan No. 1363 K/Pid.Sus/2012)
Majelis kasasi (Djoko Sarwoko, Komariah Emong S, Sri Murwahyuni) menggunakan konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak dalam memutus perkara ini. kaidah hukumnya: ‘Dalam kasus lingkungan hidup berlaku prinsip strict liability, sehingga tidak perlu dibuktikan kesalahan terdakwa. Cukup terdakwa dianggap bertanggung jawab apabila akibat pencemaran/kerusakan lingkungan telah terjadi’.

7. Pidana khusus korupsi (Putusan No. 285 K/Pid.Sus/2015)
Putusan ini tentang perkara eks Gubernur Banten Ratu Atur Chosiyah. Majelis dipimpin Artidjo Alkostar –beranggotakan MS Lumme dan Krisna Harahap—berpendapat berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah wewenang judex facti, akan tetapi secara kasuistis prinsip umum tersebut pernah disimpangi dalam putusan MA No. 47K/KR/1979 tangal 7 Juni 1982. Kejahatan korupsi oleh Undang-Undang diancam dengan pidana maksimum seumur hidup sehingga  dengan kedudukan terdakwa sebagai pemegang kekuasaan publik yang melakukan korupsi politik serta berupaya mempengaruhi putusan hakim Mahkamah Konstitusi dipandang perlu dijatuhipidana yang setimpal dengan sifat berbahayanya kejahatan tersebut. Dengan demikian putusan yang dijatuhkan harus memadai ditinjau baik dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif.

8. Hukum acara ekonomi syariah (Putusan No. 272 K/Ag/2015)
Menurut majelis kasasi (Abdul Manan, habiburrakhman, Amran Suadi) ‘dalam suatu akad yang memuat dua pilihan penyelesaian sengketa antara pengadilan agama dan arbitrase, maka para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa ke salah satu di antara dua pilihan tersebut. Apabila salah satu pihak telah mengajukan ke Pengadilan Agama dan tidak ada eksepsi dari pihak lawan, maka hakim wajib menyelesaikan perkara tersebut’.

‘Jika terjadi sengketa seperti kasus di atas, maka pilihan para pihak untuk menyelesaikan perkara tersebut harus diutamakan sehingga hakim  terikat dengan pilihan tersebut’.

9. Pidana militer, kawin ganda (Putusan No. 247 K/Mil/2015)
Seorang prajurit TNI telah menikah berkali-kali tanpa izin komandan kesatuannya. Perkawinan kedua dan seterusnya dilakukan secara siri dan tanpa persetujuan isteri pertama. Perkaranya masuk ke pengadilan. Majelis hakim agung (Andi Abu Ayyub, Burhan Dahlan, Andi Samsan Nganro) berpendapat ‘izin komandan satuan bukan syarat sahnya perkawinan bagi seorang prajurit TNI, karena ketentuan tersebut lebih bersifat tertib administrasi satuan.  Dalam kasus ini (i) perkawinan dalam kehidupan militer harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku di satuan, yaitu adanya izin dari komandan satuan; (ii) pernikahan (siri) yang dilaksanakan sesuai agama Islam dengan memenuhi syarat dan rukun nikah adalah sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan (iii) terdakwa telah menikah secara sah menurut agama dan dicatat di kesatuan, kemudian berulang kali menikah lagi (secara siri) dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 279 ayat (1) KUHP’.

10. Pidana militer, narkotika (Putusan No. 210 K/Mil/2015)
Ini tentang seorang prajurit yang mengkonsumsi narkotika di Medan. Majelis kasasi (Andi Abu Ayyub, Burhan Dahlan, Andi Samsan Nganro), ‘judex juris menilai judex facti keliru dalam menerapkan hukum karena telah salah dalam menilai fakta. In casu, perbuatan terdakwa mengkonsumsi narkotika dengan intensitas yang relatif tinggi dan dalam jangka waktu relatif dekat sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku kehidupannya, mengindikasikan terjadi kecenderungan mengalami ketergantungan narkotika. Mendasari ketentuan Pasal 103 ayat (1) jo Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hakim dalam putusannya dapat memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial meskipun dalam perkara in casu tidak ada pendapat Tim Assessment’.

11. Hukum acara sengketa TUN (Putusan No. 456 K/TUN/2015)
Putusan ini menyangkut perkara rencana pengembangan bandara baru pengganti bandara Adi Sucipto di Yogyakarta. Pemilik lahan menggugat Gubernur DI Yogyakarta. Menurut majelis kasasi (Imam Soebechi, Is Sudaryono, Supandi), ‘Pemeriksaan dan pengujian objek sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh PTUN tidak hanya didasarkan  pada segi rechtmatigheid, tetapi juga harus memperhatikan segidoelmatigheid perkembangan dinamika pembangunan ke depan (futuristic)’.

12. Hukum materiil sengketa TUN (Putusan No. 490 K/TUN/2015)
Putusan ini menyangkut kisruh Partai Golkar. Kubu Aburizal Bakrie menggugat SK Menteri Hukum dan HAM. Dalam putusannya, majelis kasasi (Imam Soebechi, Irfan Fachrudin, Supandi) menyebutkan ‘Penerbitan Keputusan oleh Badan atau Pejabat TUN yang diambil tanpa terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai fakta yang relevan dan semua kepentingan pihak ketiga yang tersangkut, dapat dikualifikasikan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terutama asas kecermatan dan kehati-hatian’.

Sumber :

HukumOnline.com 

Tim pengacara Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS), Asfinawati mengatakan seponering atau pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (biasa disebut deponering) yang dikeluarkan Jaksa Agung M Prasetyo memiliki pesan korektif terhadap kinerja kepolisian. Ia mengapresiasi langkah yang diambil Prasetyo.

"Kejaksaan kedepannya harus proaktif dalam mengawasi, mengontrol kerja penyidik, termasuk dalam menerima berkas perkara dari penyidik. Sebab, dalam kasus BW khususnya, pasca P21 justru terbuka fakta banyak bukti manipulatif. Harus ada evaluasi internal maupun eksternal terkait kinerja kepolisian dalam kasus ini," katanya, Kamis (3/3).

Menurut Asfinawati, seponering adalah mekanisme hukum yang sejalan dengan instruksi Presiden untuk menghentikan krminalisasi terhadap BW dan AS. Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, memanggil Prasetyo dan Kapolri Badrodin Haiti untuk segera menyelesaikan kasus BW, AS, dan Novel Baswedan.

Seponering tersebut juga dianggap sejalan dengan rekomendasi Ombusman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menemukan adanya maladministrasi, serta pelanggaran HAM dalam proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, khususnya dalam kasus pemberian keterangan palsu yang dituduhkan terhadap BW.

Asfinawati menjelaskan, langkah Jaksa Agung mengeluarkan seponering bagi kasus BW dan AS merupakan bentuk langkah positif dengan semangat untuk menghentikan kasus kriminalisasi. Semestinya, langkah itu juga diikuti dengan penghentian perkara kriminalisasi pegiat anti Korupsi, para aktivis HAM, buruh, dan pengabdi bantuan hukum.

Namun, terhadap tudingan kriminalisasi BW-AS, Prasetyo membantah. Ia menegaskan, tidak ada kriminalisasi dalam kasus BW dan AS. Penanganan perkara kedua mantan pimpinan KPK itu sudah melalui tahapan penelitian berkas, bolak-balik berkas dari Kepolisian dan Kejaksaan, hingga dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan.

Walau begitu, Prasetyo mengaku dirinya tetap mempertimbangkan aspirasi masyarakat, serta saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara. Ia memutuskan mengenyampingkan perkara BW dan AS karena jika tidak diselesaikan akan mempengaruhi pemberantasan korupsi dan berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Prasetyo berpandangan, pemberantasan korupsi merupakan kepentingan umum. Sementara AS dan BW dikenal luas sebagai tokoh dan figur yang memiliki komitmen memberantas korupsi. Ketika figur yang memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi itu menghadapi tuduhan tindak pidana, tentu memerlukan pembuktian.

Sebelum memutuskan seponering, Jaksa Agung telah meminta saran dan pendapat dari ketua Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Kapolri. Saat itu, Jaksa Agung memperoleh beragam jawaban dan tanggapan dari masing-masing lembaga negara. Pimpinan MA dan Kapolri menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Jaksa Agung.

Berbeda dengan DPR. Prasetyo mengungkapkan, ada sedikit ketidaksamaan pandangan meskipun pada akhirnya pimpinan DPR juga menyerahkan sepenuhnya kepada Jaksa Agung yang memiliki hak prerogatif. Selain itu, Prasetyo juga mencermati, mendengar aspirasi, dan tuntutan rasa keadilan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

Sumber :

HukumOnline.com 

ADVOKAT BISA ADUKAN JAKSA JIKA JUSTICE COLLABORATOR DITOLAK

Sejak hukum di Indonesia mengenal saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC), banyak tersangka atau terdakwa yang akhirnya mengajukan diri untuk menjadi JC kepada penyidik atau penuntut umum. Misalnya, permohonan yang diajukan oleh anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti dalam kasus korupsi yang melilitnya di KPK.

Berbeda dengan Damayanti, ada beberapa nama lain yang telah ditetapkan sebagai JC, salah satunya advokat M Yagari Bhastara Guntur alias Gary dalam perkara dugaan suap kepada hakim PTUN Medan. Namun, untuk menjadi justice collaborator, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat saksi pelaku yang bekerja sama ini.  Apa saja syarat-syarat itu?

Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI Widyo Pramono mengatakan, kriteria pertama yang memungkinkan ditetapkannya JC bahwa kejahatan yang diperbuat merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Mengapa harus demikian? Karena di situ lah konsep JC muncul.

“Ada pihak-pihak yang memegang peranan lebih penting yang harus ada diungkap keterlibatannya,” kata Widyo dalam seminar bertema “Strategi Pembelaan dengan Mengungkap Kebenaran” yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kubu Fauzie Hasibuan, akhir pekan lalu.

Dasar dalam memberikan penetapan JC kepada terdakwa maupun tersangka merupakan hal yang penting. Biasanya, JC bukanlah pelaku utama, sehingga ada pelaku besar lain yang bisa diungkap ke penyidik untuk mengusut tuntas perkara tersebut.

“Jadi di sini, justice collaborator itu kalau meminjam istilahnya Pak Semendawai (Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) adalah pelaku kelas teri bukan kelas kakap. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya,” lanjut peraih gelar guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, seraya menyebutkan syarat kedua.

Selanjutnya, mengacu pada Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK di tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, Widyo menambahkan, JC harus memberi keterangan yang signifikan, relevan, dan dapat diandalkan.

Selain itu JC juga harus bersedia mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan. Syarat lain yang tak kalah penting adalah adanya ancaman baik fisik maupun psikis terhadap JC atas diri dan keluarganya apabila tindak pidana diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Adanya saksi pelaku yang mau bekerja sama, menurut Widyo, membuat penuntut umum terbantu. Apalagi dengan adanya perlindungan yang diberikan oleh LPSK. Untuk itu, penetapan JC terhadap orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut menjadi sebuah keniscayaan.

“Jadi insyaAllah penuntut umum itu kalau menolak saksi pelaku yang diberikan melalui LPSK maupun pengacara, maka penuntut yang demikian ini tidak benar. Sarana yang bisa dilakukan oleh lawyer yang menghadapi hal seperti ini, bisa lapor sama Jamwas,” ujarnya.

Menurutnya, lewat jabatan yang kini ia pegang itu, ia bisa turun tangan untuk mencari duduk perkara yang sesungguhnya. Tujuannya agar aparat kejaksaan baik di pusat mau pun di daerah mampu menjalankan kerjanya menegakkan hukum secara benar sesuai ketentuan yang ada.

Manfaat Jadi Justice Collaborator
Cukup besarnya minat menjadi JC tak lain karena adanya tawaran keringanan penjatuhan pidana terhadap pelaku. Hal ini sesuai UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa saksi pelaku yang bekerjasama dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan, yang mana salah satunya adalah keringanan hukuman.

Alasan berupa peringanan hukuman ini dibenarkan menjadi salah satu pertimbangan lawyer saat menyarankan kliennya menjadi JC oleh pengacara Gary, Ika Safitri.  Beberapa waktu lalu, Gary baru saja divonis dua tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap majelis hakim PTUN Medan. Sebelumnya diberitakan bahwa peran Gary dalam membongkar keterlibatan pelaku besar yang membuatnya dituntut dengan ancaman minimal.

Hal serupa juga diutarakan kuasa hukum Awang Lazuardi Embat, Gunadi Handoko. Menurutnya, banyak manfaat dari JC sehingga hal ini yang disarankan dirinya kepada Awang yang disangka telah menyuap Kasubdit Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna.

“KPK kan kalau sudah bertindak ndak main-main. Punya data, punya informasi yang betul-betul akurat. Jadi mau ngga mau dia harus kooperatif dan menjadi justice collaborator. Itu juga yang kami sarankan karena kami pandang paling baik lah untuk Awang,” ujar Gunadi kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.

Sumber :

HukumOnline.com 

PASAL LIVING LAW DI RKUHP BERPOTENSI DISALAHGUNAKAN APARAT PENEGAK HUKUM

Ada sejumlah pasal dalam Buku I Bab I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga saat ini masih terus dilakukan pembahasan. Salah satunya adalah Pasal 2 RKUHP, terkait pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).

Dalam Seminar Nasional “Menyikapi Pembahasan RKUHP” yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) bekerjasama dengan FH Unpad di Bandung, Selasa (1/2), terlihat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara dua mantan hakim agung terkait dengan Pasal 2 ayat (1) RKUHP. Selain pro-kontra, terlihat juga adanya kekhawatiran terkait the living law jika nantinya dimplementasikan.  

Pasal 2 ayat (1) RKUHP sendiri berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Mantan Hakim Agung Prof. Komariah E Sapardjaja berpendapat ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bertolak belakang dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Sebab, dasar pemikiran Pasal 1 ayat (1) RKUHP adalah undang-undang. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) RKUHP justru pemikiran dasarnya adalah hukum tidak tertulis.

“Ini berbenturan dengan asas legalitas. Implementasi tindak pidana yang dilandaskan kepada hukum yang hidup dalam masyarakat lebih ditujukan kepada hakim,” ujarnya saat menyampaikan makalahnya yang berjudul “Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP” di seminar tersebut.

Sebetulnya, pengaturan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hal baru. Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Nomor 1 (Drt) Tahun 1951 telah mengakui eksistensi the living law itu sendiri. Namun, Komariah menilai, di beberapa daerah telah terjadi ‘erosi’ sehingga hukum adat hanya menjadi budaya daerah. Artinya, hukum adat saat ini lebih banyak diimplementasikan sebagai warisan budaya dan bukan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.

“Saat ini saya melihat tidak ada hukum adat yang bisa diangkat jadi hukum nasional,” tegasnya.

Komariah juga membeberkan potensi masalah lain ketika the living law ini diimplementasikan. Pertama, aparat penegak hukum mesti punya ‘pemikiran baru’ dalam menegakkan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasalnya, selama ini diketahui aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, bahkan hakim cenderung mengedepankan asas legalitas saat menangani perkara. Lantas, bagaimana ketika mereka mesti menegakkan hukum yang mana aturannya tidak tertulis dalam undang-undang?

Dikatakan Komariah, penyelidik sebagaimana Pasal 5 KUHAP berwenang mencari keterangan dan barang bukti. Maka, tidak tertutup kemungkinan penyelidik melakukan penelitian tentang dugaan tindak pidana tersebut. Sayangnya, baik penyeldik dan penyidik bukanlah ahli tentang hukum adat. Terlebih lagi, menurutnya, ahli di bidang hukum adat atau ahli di bidang hukum yang hidup dalam masyarakat sangat langka.

“Satu hal, hukum adat tidak bedakan perkara itu pidana atau perdata. Ini juga mesti harus jadi perhatian. Penyidik tidak menangani kasus perdata. Selama ini pola pikir penegak hukum menentukan aspek pidana dengan unsur-unsur, hukum ada bagaimana unsur-unsurnya?” tutur Komariah mengkritisi.

Potensi kedua, kata Komariah, adanya kekhawatiran mengenai teknis beracara dalam penegakan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebab, jika pasal mengenailiving law ini nantinya diberlakukan, ia melihat berpotensi terjadinya penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum ketika hukum acara terkait dengan hal ini tidak ada aturan tertulisnya.

“Nanti gimana bentuk dakwaannya? Akan ada potensi penyalahgunaan oleh penegak hukum. Apalagi bagi penegak hukum yang tidak paham soal hukum yang hidup di masyarakat itu seperti apa,” tambahnya.

Oleh karenanya, Komariah usul, perlu ada kajian yang lebih mendalam soal apa dan bagaimana hukum yang hidup serta berkembang di masyarakat. Jika tidak, ia tidak yakin ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa diimplementasikan dengan baik. Paling tidak, Kementerian Hukum dan HAM coba mengkaji kembali soal the living law ini secara lebih mendalam.

“Saya kok tidak yakin hal ini bisa diterapkan ya. Kumham (Kementerian Hukum dan HAM) harus mengkaji kembali hal ini. Mana yang bermanfaat? Tetap dimasukan atau dikeluarkan dari RKUHP. Saya tidak mau jawab secara tegas,” tandasnya.

Dalam makalahnya, mantan Hakim Agung Prof. Muladi menuliskan bahwa RKUHP tidak hanya membawa misi utama pembaharuan hukum pidana saja, akan tetapi juga menegaskan tentang asas ke-Indonesiaan atau keseimbangan yang dinamis. Menurutnya, formulasi hukum pidana di masa depan merupakan perpaduan hukum pidana sebagai mekanisme pemersatu dari keadilan retributif, keadilan restoratif, perkembangan kesepakatan global, serta pesan-pesan politis seperti Pancasila, UUD 1945, serta hukum yang hidup dalam masyarakat yang masih kuat di berbagai daerah.

Terkait Pasal 2 ayat (1) RKUHP, Muladi sadar bahwa banyak yang tidak sepakat dengan rumusan tersebut jika dikaitkan dengan asas legalitas. Namun, dalam rangka menjamin kepastian hukum, Pasal 2 ayat (2) RKUHP menentukan adanya ‘margin of appreciation and legitimation’ dari hukum yang hidup dalam masyarakat yakni Pancasila, HAM, dan prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Selain itu, Muladi juga menyatakan bahwa dalam rangka kepastian hukum, dalam perdebatan di Komisi III DPR RI disepakati keharusan adanya semacam ‘Kompilasi Hukum Adat’ di daerah tertentu yang hukum adatnya masih kuat. Bukan hanya itu, berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 2 RKUHP ini juga dirumuskan beberapa pasal, antara lain Pasal 55 ayat (1) RKUHP tentang tujuan pemidanaan dan Pasal 774 RKUHP berkaitan dengan sanksi pidana.

Pasal 774 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai perbuatan yang salah diancam dengan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana Pasal 68 ayat (1) RKUHP. Hukuman tersebut sebanding dengan pidana denda kategori I atau sekitar Rp6 juta.

Selain itu, Pasal 774 ayat (2) RKUHP juga menyatakan bahwa dalam putusan hakim dapat menetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahliwarisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 RKUHP. “Pasal 2 RKUHP jadi kontroversi karena pakai cara pikir perspektif barat. Tapi pakai cara berpikir keindonesiaan,” pungkasnya.

Bisa Jangkau Delik Pidana Baru
Di tempat yang sama, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bukan penyimpangan terhadap asas legalitas. Ia berpendapat, bahwa pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pelengkap dari asas legalitas itu sendiri.

“Di satu sisi asas legalitas tetap dipakai. Di sisi lain, karena berangkat dari asas keseimbangan ditambah bahwa selain bersumber dari undang-undang tetapi juga dari hukum yang hidup dalam masyarakat,” kata Chairul.

Selain itu, Chairul juga berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa menjadi ‘cantolan’ bagi jenis-jenis delik pidana yang belum diatur dalam RKHUP. Perbuatan yang dianggap tercela dan melukai rasa keadilan masyarakat namun belum diatur dalam undang-undang bisa ‘ditarik’ dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) RKUHP.

Meski begitu, ia tak menampik bahwa rumusan pasal ini masih perlu perbaikan. Salah satunya mesti diatur jelas bagaimana nanti hukum acara pidana untuk menegakkan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. Hal ini memerlukan kajian hukum yang lebih mendalam lagi.

“Saya yakin para guru besar kita dan ahli hukum tidak bermaksud merumuskan Pasal 2 untuk membuat ketidakpastian. Tapi sejauh untuk menjangkau jangan sampai ada perbuatan-perbuatan yang belum dirumuskan dalam RKUHP, lalu kita tidak bersikap karena tidak ada undang-undangnya. Tapi perlu perbaikan rumusan dan hukum acara pidana seperti apa. Perlu semacam kajian kriteria hukum yang hidup seperti apa,” pungkasnya.

Sumber :

HukumOnline.com 

Pengikut

 
Support : BMH Situbondo | Kumpulan Puisi | Mas Template
Copyright © 2014 Bakri The Lawyer - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger