Ada sejumlah pasal dalam Buku I Bab I Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga saat ini masih terus dilakukan
pembahasan. Salah satunya adalah Pasal 2 RKUHP, terkait pengakuan terhadap
hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).
Dalam Seminar Nasional “Menyikapi Pembahasan RKUHP” yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) bekerjasama dengan FH Unpad di Bandung, Selasa (1/2), terlihat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara dua mantan hakim agung terkait dengan Pasal 2 ayat (1) RKUHP. Selain pro-kontra, terlihat juga adanya kekhawatiran terkait the living law jika nantinya dimplementasikan.
Pasal 2 ayat (1) RKUHP sendiri berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Mantan Hakim Agung Prof. Komariah E Sapardjaja berpendapat ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bertolak belakang dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Sebab, dasar pemikiran Pasal 1 ayat (1) RKUHP adalah undang-undang. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) RKUHP justru pemikiran dasarnya adalah hukum tidak tertulis.
“Ini berbenturan dengan asas legalitas. Implementasi tindak pidana yang dilandaskan kepada hukum yang hidup dalam masyarakat lebih ditujukan kepada hakim,” ujarnya saat menyampaikan makalahnya yang berjudul “Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP” di seminar tersebut.
Sebetulnya, pengaturan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hal baru. Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Nomor 1 (Drt) Tahun 1951 telah mengakui eksistensi the living law itu sendiri. Namun, Komariah menilai, di beberapa daerah telah terjadi ‘erosi’ sehingga hukum adat hanya menjadi budaya daerah. Artinya, hukum adat saat ini lebih banyak diimplementasikan sebagai warisan budaya dan bukan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.
“Saat ini saya melihat tidak ada hukum adat yang bisa diangkat jadi hukum nasional,” tegasnya.
Komariah juga membeberkan potensi masalah lain ketika the living law ini diimplementasikan. Pertama, aparat penegak hukum mesti punya ‘pemikiran baru’ dalam menegakkan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasalnya, selama ini diketahui aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, bahkan hakim cenderung mengedepankan asas legalitas saat menangani perkara. Lantas, bagaimana ketika mereka mesti menegakkan hukum yang mana aturannya tidak tertulis dalam undang-undang?
Dikatakan Komariah, penyelidik sebagaimana Pasal 5 KUHAP berwenang mencari keterangan dan barang bukti. Maka, tidak tertutup kemungkinan penyelidik melakukan penelitian tentang dugaan tindak pidana tersebut. Sayangnya, baik penyeldik dan penyidik bukanlah ahli tentang hukum adat. Terlebih lagi, menurutnya, ahli di bidang hukum adat atau ahli di bidang hukum yang hidup dalam masyarakat sangat langka.
“Satu hal, hukum adat tidak bedakan perkara itu pidana atau perdata. Ini juga mesti harus jadi perhatian. Penyidik tidak menangani kasus perdata. Selama ini pola pikir penegak hukum menentukan aspek pidana dengan unsur-unsur, hukum ada bagaimana unsur-unsurnya?” tutur Komariah mengkritisi.
Potensi kedua, kata Komariah, adanya kekhawatiran mengenai teknis beracara dalam penegakan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebab, jika pasal mengenailiving law ini nantinya diberlakukan, ia melihat berpotensi terjadinya penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum ketika hukum acara terkait dengan hal ini tidak ada aturan tertulisnya.
“Nanti gimana bentuk dakwaannya? Akan ada potensi penyalahgunaan oleh penegak hukum. Apalagi bagi penegak hukum yang tidak paham soal hukum yang hidup di masyarakat itu seperti apa,” tambahnya.
Oleh karenanya, Komariah usul, perlu ada kajian yang lebih mendalam soal apa dan bagaimana hukum yang hidup serta berkembang di masyarakat. Jika tidak, ia tidak yakin ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa diimplementasikan dengan baik. Paling tidak, Kementerian Hukum dan HAM coba mengkaji kembali soal the living law ini secara lebih mendalam.
“Saya kok tidak yakin hal ini bisa diterapkan ya. Kumham (Kementerian Hukum dan HAM) harus mengkaji kembali hal ini. Mana yang bermanfaat? Tetap dimasukan atau dikeluarkan dari RKUHP. Saya tidak mau jawab secara tegas,” tandasnya.
Dalam makalahnya, mantan Hakim Agung Prof. Muladi menuliskan bahwa RKUHP tidak hanya membawa misi utama pembaharuan hukum pidana saja, akan tetapi juga menegaskan tentang asas ke-Indonesiaan atau keseimbangan yang dinamis. Menurutnya, formulasi hukum pidana di masa depan merupakan perpaduan hukum pidana sebagai mekanisme pemersatu dari keadilan retributif, keadilan restoratif, perkembangan kesepakatan global, serta pesan-pesan politis seperti Pancasila, UUD 1945, serta hukum yang hidup dalam masyarakat yang masih kuat di berbagai daerah.
Terkait Pasal 2 ayat (1) RKUHP, Muladi sadar bahwa banyak yang tidak sepakat dengan rumusan tersebut jika dikaitkan dengan asas legalitas. Namun, dalam rangka menjamin kepastian hukum, Pasal 2 ayat (2) RKUHP menentukan adanya ‘margin of appreciation and legitimation’ dari hukum yang hidup dalam masyarakat yakni Pancasila, HAM, dan prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Selain itu, Muladi juga menyatakan bahwa dalam rangka kepastian hukum, dalam perdebatan di Komisi III DPR RI disepakati keharusan adanya semacam ‘Kompilasi Hukum Adat’ di daerah tertentu yang hukum adatnya masih kuat. Bukan hanya itu, berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 2 RKUHP ini juga dirumuskan beberapa pasal, antara lain Pasal 55 ayat (1) RKUHP tentang tujuan pemidanaan dan Pasal 774 RKUHP berkaitan dengan sanksi pidana.
Pasal 774 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai perbuatan yang salah diancam dengan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana Pasal 68 ayat (1) RKUHP. Hukuman tersebut sebanding dengan pidana denda kategori I atau sekitar Rp6 juta.
Selain itu, Pasal 774 ayat (2) RKUHP juga menyatakan bahwa dalam putusan hakim dapat menetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahliwarisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 RKUHP. “Pasal 2 RKUHP jadi kontroversi karena pakai cara pikir perspektif barat. Tapi pakai cara berpikir keindonesiaan,” pungkasnya.
Bisa Jangkau Delik Pidana Baru
Di tempat yang sama, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bukan penyimpangan terhadap asas legalitas. Ia berpendapat, bahwa pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pelengkap dari asas legalitas itu sendiri.
“Di satu sisi asas legalitas tetap dipakai. Di sisi lain, karena berangkat dari asas keseimbangan ditambah bahwa selain bersumber dari undang-undang tetapi juga dari hukum yang hidup dalam masyarakat,” kata Chairul.
Selain itu, Chairul juga berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa menjadi ‘cantolan’ bagi jenis-jenis delik pidana yang belum diatur dalam RKHUP. Perbuatan yang dianggap tercela dan melukai rasa keadilan masyarakat namun belum diatur dalam undang-undang bisa ‘ditarik’ dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) RKUHP.
Meski begitu, ia tak menampik bahwa rumusan pasal ini masih perlu perbaikan. Salah satunya mesti diatur jelas bagaimana nanti hukum acara pidana untuk menegakkan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. Hal ini memerlukan kajian hukum yang lebih mendalam lagi.
“Saya yakin para guru besar kita dan ahli hukum tidak bermaksud merumuskan Pasal 2 untuk membuat ketidakpastian. Tapi sejauh untuk menjangkau jangan sampai ada perbuatan-perbuatan yang belum dirumuskan dalam RKUHP, lalu kita tidak bersikap karena tidak ada undang-undangnya. Tapi perlu perbaikan rumusan dan hukum acara pidana seperti apa. Perlu semacam kajian kriteria hukum yang hidup seperti apa,” pungkasnya.
Sumber :
Dalam Seminar Nasional “Menyikapi Pembahasan RKUHP” yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) bekerjasama dengan FH Unpad di Bandung, Selasa (1/2), terlihat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara dua mantan hakim agung terkait dengan Pasal 2 ayat (1) RKUHP. Selain pro-kontra, terlihat juga adanya kekhawatiran terkait the living law jika nantinya dimplementasikan.
Pasal 2 ayat (1) RKUHP sendiri berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Mantan Hakim Agung Prof. Komariah E Sapardjaja berpendapat ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bertolak belakang dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Sebab, dasar pemikiran Pasal 1 ayat (1) RKUHP adalah undang-undang. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) RKUHP justru pemikiran dasarnya adalah hukum tidak tertulis.
“Ini berbenturan dengan asas legalitas. Implementasi tindak pidana yang dilandaskan kepada hukum yang hidup dalam masyarakat lebih ditujukan kepada hakim,” ujarnya saat menyampaikan makalahnya yang berjudul “Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP” di seminar tersebut.
Sebetulnya, pengaturan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hal baru. Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Nomor 1 (Drt) Tahun 1951 telah mengakui eksistensi the living law itu sendiri. Namun, Komariah menilai, di beberapa daerah telah terjadi ‘erosi’ sehingga hukum adat hanya menjadi budaya daerah. Artinya, hukum adat saat ini lebih banyak diimplementasikan sebagai warisan budaya dan bukan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.
“Saat ini saya melihat tidak ada hukum adat yang bisa diangkat jadi hukum nasional,” tegasnya.
Komariah juga membeberkan potensi masalah lain ketika the living law ini diimplementasikan. Pertama, aparat penegak hukum mesti punya ‘pemikiran baru’ dalam menegakkan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasalnya, selama ini diketahui aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, bahkan hakim cenderung mengedepankan asas legalitas saat menangani perkara. Lantas, bagaimana ketika mereka mesti menegakkan hukum yang mana aturannya tidak tertulis dalam undang-undang?
Dikatakan Komariah, penyelidik sebagaimana Pasal 5 KUHAP berwenang mencari keterangan dan barang bukti. Maka, tidak tertutup kemungkinan penyelidik melakukan penelitian tentang dugaan tindak pidana tersebut. Sayangnya, baik penyeldik dan penyidik bukanlah ahli tentang hukum adat. Terlebih lagi, menurutnya, ahli di bidang hukum adat atau ahli di bidang hukum yang hidup dalam masyarakat sangat langka.
“Satu hal, hukum adat tidak bedakan perkara itu pidana atau perdata. Ini juga mesti harus jadi perhatian. Penyidik tidak menangani kasus perdata. Selama ini pola pikir penegak hukum menentukan aspek pidana dengan unsur-unsur, hukum ada bagaimana unsur-unsurnya?” tutur Komariah mengkritisi.
Potensi kedua, kata Komariah, adanya kekhawatiran mengenai teknis beracara dalam penegakan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebab, jika pasal mengenailiving law ini nantinya diberlakukan, ia melihat berpotensi terjadinya penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum ketika hukum acara terkait dengan hal ini tidak ada aturan tertulisnya.
“Nanti gimana bentuk dakwaannya? Akan ada potensi penyalahgunaan oleh penegak hukum. Apalagi bagi penegak hukum yang tidak paham soal hukum yang hidup di masyarakat itu seperti apa,” tambahnya.
Oleh karenanya, Komariah usul, perlu ada kajian yang lebih mendalam soal apa dan bagaimana hukum yang hidup serta berkembang di masyarakat. Jika tidak, ia tidak yakin ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa diimplementasikan dengan baik. Paling tidak, Kementerian Hukum dan HAM coba mengkaji kembali soal the living law ini secara lebih mendalam.
“Saya kok tidak yakin hal ini bisa diterapkan ya. Kumham (Kementerian Hukum dan HAM) harus mengkaji kembali hal ini. Mana yang bermanfaat? Tetap dimasukan atau dikeluarkan dari RKUHP. Saya tidak mau jawab secara tegas,” tandasnya.
Dalam makalahnya, mantan Hakim Agung Prof. Muladi menuliskan bahwa RKUHP tidak hanya membawa misi utama pembaharuan hukum pidana saja, akan tetapi juga menegaskan tentang asas ke-Indonesiaan atau keseimbangan yang dinamis. Menurutnya, formulasi hukum pidana di masa depan merupakan perpaduan hukum pidana sebagai mekanisme pemersatu dari keadilan retributif, keadilan restoratif, perkembangan kesepakatan global, serta pesan-pesan politis seperti Pancasila, UUD 1945, serta hukum yang hidup dalam masyarakat yang masih kuat di berbagai daerah.
Terkait Pasal 2 ayat (1) RKUHP, Muladi sadar bahwa banyak yang tidak sepakat dengan rumusan tersebut jika dikaitkan dengan asas legalitas. Namun, dalam rangka menjamin kepastian hukum, Pasal 2 ayat (2) RKUHP menentukan adanya ‘margin of appreciation and legitimation’ dari hukum yang hidup dalam masyarakat yakni Pancasila, HAM, dan prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Selain itu, Muladi juga menyatakan bahwa dalam rangka kepastian hukum, dalam perdebatan di Komisi III DPR RI disepakati keharusan adanya semacam ‘Kompilasi Hukum Adat’ di daerah tertentu yang hukum adatnya masih kuat. Bukan hanya itu, berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 2 RKUHP ini juga dirumuskan beberapa pasal, antara lain Pasal 55 ayat (1) RKUHP tentang tujuan pemidanaan dan Pasal 774 RKUHP berkaitan dengan sanksi pidana.
Pasal 774 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai perbuatan yang salah diancam dengan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana Pasal 68 ayat (1) RKUHP. Hukuman tersebut sebanding dengan pidana denda kategori I atau sekitar Rp6 juta.
Selain itu, Pasal 774 ayat (2) RKUHP juga menyatakan bahwa dalam putusan hakim dapat menetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahliwarisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 RKUHP. “Pasal 2 RKUHP jadi kontroversi karena pakai cara pikir perspektif barat. Tapi pakai cara berpikir keindonesiaan,” pungkasnya.
Bisa Jangkau Delik Pidana Baru
Di tempat yang sama, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bukan penyimpangan terhadap asas legalitas. Ia berpendapat, bahwa pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pelengkap dari asas legalitas itu sendiri.
“Di satu sisi asas legalitas tetap dipakai. Di sisi lain, karena berangkat dari asas keseimbangan ditambah bahwa selain bersumber dari undang-undang tetapi juga dari hukum yang hidup dalam masyarakat,” kata Chairul.
Selain itu, Chairul juga berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa menjadi ‘cantolan’ bagi jenis-jenis delik pidana yang belum diatur dalam RKHUP. Perbuatan yang dianggap tercela dan melukai rasa keadilan masyarakat namun belum diatur dalam undang-undang bisa ‘ditarik’ dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) RKUHP.
Meski begitu, ia tak menampik bahwa rumusan pasal ini masih perlu perbaikan. Salah satunya mesti diatur jelas bagaimana nanti hukum acara pidana untuk menegakkan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. Hal ini memerlukan kajian hukum yang lebih mendalam lagi.
“Saya yakin para guru besar kita dan ahli hukum tidak bermaksud merumuskan Pasal 2 untuk membuat ketidakpastian. Tapi sejauh untuk menjangkau jangan sampai ada perbuatan-perbuatan yang belum dirumuskan dalam RKUHP, lalu kita tidak bersikap karena tidak ada undang-undangnya. Tapi perlu perbaikan rumusan dan hukum acara pidana seperti apa. Perlu semacam kajian kriteria hukum yang hidup seperti apa,” pungkasnya.
Sumber :
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !